AKU CINTA ISLAM


Join the forum, it's quick and easy

AKU CINTA ISLAM
AKU CINTA ISLAM
Would you like to react to this message? Create an account in a few clicks or log in to continue.
AKU CINTA ISLAM

Sebuah Kebenaran dan bagaimana cara kita menyikapi hidup yang sebenarnya.


You are not connected. Please login or register

Niat dalam Salat

Go down  Message [Halaman 1 dari 1]

1Niat dalam Salat Empty Niat dalam Salat Tue Apr 19, 2011 9:16 pm

Hipotesa

Hipotesa
Administrator Website
Administrator Website

NIAT
Adapun beberapa pendapat menyatakan tanpa mengucapkan niat tersebut dengan lisannya, karena mengucapkan niat dengan lisan itu tidak dibenarkan (oleh syara`), bahkan hal tersebut merupakan perbuatan bid`ah (membuat sendiri ajaran baru). Sebab Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak pernah melafadzkan niat, begitu juga para sahabat. Dan adapun pendapat bahwa melafazkan niat itu menyempurnakan niat didalam hati, karena seperti sabda Rasulullah, amal ibadah atau perbuatan seseorang itu disempurnakan oleh niat.

Dahulupun saya menekankan kepada sahabat saya, niat itu tidak harus dilafazkan, percuma bila melafazkan niat dengan bahasa arab yang kalian tidak mengerti artinya, itu adalah perbuatan bid'ah, sedangkan jika kalian ingin menyempurnakan niat kalian dalam sholat, maka ucapkanlah dengan bahasa indonesia saja (karena pasti kalian lebih mengerti artinya), bila itu bisa membantu membulatkan niat yang ada didalam hati kalian. Karena niat yang kita lafadzkan semata-mata untuk membulatkan niat kita didalam hati, maka tidaklah menjadi perbuatan bid'ah, karena kita tidak menyebarkan paham seperti ini. Dan saya mengambil dalil dari sini:
"Semua amal tergantung pada niatnya dan setiap orang akan mendapat (balasan) sesuai dengan niatnya." (HR. Bukhari, Muslim dan Ahli-Hadist lain).
Tapi setelah saya mengkaji lagi, dengan melafadzkan niat untuk menyempurnakan niat dihati, berarti niat didalam hati belum sempurna, lalu saya mendapati perkataan seorang imam panutan saya Asy-Syafi'i.
Asy Syafi'i berkata, "Was-was dalam niat sholat dan dalam thaharah termasuk kebodohan terhadap syariat atau membingungkan akal."
Semenjak itu saya selalu membulatkan niat saya didalam hati dan tanpa melafadzkan niat.
Niat berarti menyengaja untuk sholat, menghambakan diri kepada Allah Ta'ala semata, serta menguatkannya dalam hati.

Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
"Semua amal tergantung pada niatnya dan setiap orang akan mendapat (balasan) sesuai dengan niatnya." (HR. Bukhari, Muslim dan lain-lain. Baca Al Irwa', hadits no. 22).

Niat tidak dilafadzkan
, dan tidaklah disebutkan dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam pun tidak pula dari salah seorang sahabatnya bahwa niat itu dilafadzkan.

Abu Dawud bertanya kepada Imam Ahmad. Dia berkata, "Apakah orang sholat mengatakan sesuatu sebelum dia takbir?" Imam Ahmad menjawab, "Tidak." (Masaail al Imam Ahmad hal 31 dan Majmuu' al Fataawaa XXII/28).

As-Suyuthi berkata, "Yang termasuk perbuatan bid'ah adalah was-was (selalu ragu) sewaktu berniat sholat. Hal itu tidak pernah diperbuat oleh Nabi shallallahu 'alaihi wasallam maupun para shahabat beliau. Mereka dulu tidak pernah melafadzkan niat sholat sedikitpun selain hanya lafadz takbir."

Kembali kepada perkataan Asy Syafi'i.
Asy Syafi'i berkata, "Was-was dalam niat sholat dan dalam thaharah termasuk kebodohan terhadap syariat atau membingungkan akal." (Lihat al Amr bi al Itbaa' wa al Nahy 'an al Ibtidaa').

Tambahan lagi pendapat yang (kebanyakan saya menambahkan Imam Asy Syafi'i) di bawah ini;
“Hanyalah amal itu dengan niat dan setiap orang hanyalah beroleh apa yang ia niatkan.”
(HR. Al-Bukhari no. 54 dan Muslim no. 4904)


Al-Imam An-Nawawi Asy-Syafi’i rahimahullahu berkata: “Niat adalah maksud. Maka orang yang hendak shalat menghadirkan dalam benaknya shalat yang hendak dikerjakan dan sifat shalat yang wajib ditunaikannya, seperti shalat zhuhur sebagai shalat fardhu dan selainnya, kemudian ia menggandengkan maksud tersebut dengan awal takbir.”
(Raudhatuth Thalibin, 1/243-244)

Sudah berulang kali disebutkan bahwa niat tidak boleh dilafadzkan. Sehingga seseorang tidak boleh menyatakan sebelum shalatnya, “Nawaitu an ushalliya lillahi ta’ala kadza raka’atin mustaqbilal qiblah blablabla...” (Aku berniat mengerjakan shalat karena Allah Subhanahu wa Ta’ala sebanyak sekian rakaat dalam keadaan menghadap kiblat blablabla...).
Melafadzkan niat tidak ada asalnya dalam As-Sunnah. Tidak ada seorang pun sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alahi wa sallam yang membolehkan melafadzkan niat. Tidak ada pula seorang tabi’in pun yang menganggapnya baik. Demikian pula para imam yang empat. Sementara kita maklumi bahwa yang namanya kebaikan adalah mengikuti bimbingan As-Salafush Shalih.

Ada kesalahpahaman dari sebagian pengikut Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu terhadap ucapan beliau, dalam masalah haji, “Apabila seseorang berihram dan telah berniat dengan hatinya, maka ia tidak diharuskan menyebut niat itu dengan lisannya. Haji itu tidak seperti shalat, di mana tidak shahih penunaiannya terkecuali dengan nathq (pelafadzan dengan lisan).”

Maka hal ini dijelaskan oleh Al-Imam Ar-Rafi’i Asy-Syafi’i rahimahullahu dalam kitab Al-’Aziz Syarhul Wajiz yang dikenal dengan nama Syarhul Kabir (1/470): “Jumhur ulama kalangan Syafi’iyyah berkata: ‘Al-Imam Asy-Syafi’i –semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala meridhainya– tidaklah memaksudkan dengan ucapannya tersebut adanya pelafadzan niat dengan lisan (tatkala hendak mengerjakan shalat). Yang beliau maksudkan adalah takbir (yaitu takbiratul ihram, pen.), karena dengan takbir tersebut sahlah shalat yang dikerjakan. Sementara dalam haji, seseorang menjadi muhrim walaupun tanpa ada pelafadzan.”
Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullahu mengatakan, “Bila Nabi Shallallahu ‘alahi wa sallam berdiri untuk shalat, beliau langsung mengucapkan takbiratul ihram dan tidak mengucapkan apa pun sebelumnya, juga tidak melafadzkan niat sama sekali. Beliau juga tidak mengatakan, ‘Aku tunaikan untuk Allah Subhanahu wa Ta’ala shalat ini dengan menghadap kiblat empat rakaat sebagai imam atau makmum’.
Demikian pula ucapan ada’an atau qadha’an ataupun fardhal waqti.
Melafadzkan niat ini termasuk perbuatan yang diada-adakan dalam agama (bid’ah). Tidak ada seorang pun yang menukilkan hal tersebut dari Nabi Shallallahu ‘alahi wa sallam, baik dengan sanad yang shahih, dhaif, musnad (bersambung sanadnya), ataupun mursal (tidak bersambung). Bahkan tidak ada nukilan dari para sahabat, demikian pula tabi’in maupun imam yang empat, tak seorang pun dari mereka yang menganggap baik hal ini.
Untuk masalah bid'ah, kita harus mengerti, banyak pengelakan tentang ini, bahwa bid'ah itu hal yang tidak pernah dikerjakan/diajarkan sunnah Rasulullah saw.
Lalu ada yang berkata: “Kalau tidak mau bid'ah jangan pake Motor/Mobil, Rasulullah memakai Onta! Kalau gak mau bid'ah jangan pake Handphone, Rasulullah gak pernah pake Handphone!”.
Jawaban: “Disinilah kesalahan besar! Bid'ah yang dimaksudkan adalah masalah ibadah, bukan perkembangan TEKNOLOGI/ZAMAN. Teknologi boleh berkembang, tapi ibadah JANGAN!!, adanya perkembangan tehnologi bukan perkembangan ibadah. Rasulullah sudah mengajarkan sesempurna mungkin dan Islam adalah sempurna, jangan mengada-adakan urusan baru!! lihat hadits dibawah..
“Berpeganglah kalian kepada sunnahku dan sunnah Khulafaur Rosyidin yang terpimpin. Peganglah dia dengan gigi-gigi taringmu. Dan jauhilah oleh kalian mengada-adakan urusan baru. Sebab sesungguhnya setiap bid'ah adalah sesat.” (HR. Empat Ahli Hadits, kecuali Nasa'i)
Aisyah ra. menuturkan, Muhammad Rasulullah saw. bersabda, “Barangsiapa mengada-adakan sesuatu dalam agama kamu ini, yang tidak ada asal usulnya dari agama ini, maka tertolaklah”. (HR. Bukhari dan Muslim)
“Barangsiapa mengamalkan sesuatu yang tidak ada perintahnya dari kami, maka tertolah”. (HR.Muslim)
Hudzaifah ra. memberitahukan, Muhammad Rasulullah saw. bersabda. “Allah tidak akan menerima puasa ahli bid'ah, juga tidak menerima sholatnya, hajinya, umrohnya, dan jihadnya. Ia keluar dari Islam laksana seutas rambut yang keluar dari tepung”.
(HR. Ibnu Majah)
Yang disayangkan banyak sekali orang-orang yang tidak mengerti sunnah dan membenarkan pendapat mereka masing-masing tentang bid'ah dengan landasan akal logika mereka yang benar-benar salah juga tidak ada dalil sama sekali yang membenarkan mereka, dan mereka mengatai orang-orang yang menghindari bid'ah adalah berlebihan bahkan sesat. Apakah sebagian dari pembaca termasuk? Maka haruslah tanyakan lagi pada hati nurani, Rasulullah yang benar, atau malah ustad-ustad baru atau orang-orang yang sok ustad tadi yang lebih benar daripada Rasulullah dan Empat Imam Mazhab besar (Hanafi, Maliki, Hambali, Syafi'i)? Silahkan di telaah lagi. Bedakan mana yang fanatis, mana yang berlebihan, mana yang benar, mana yang mengada-ada, dan mana yang menjaga sunnah,

Juga sebagian mutaakhirin (orang-orang belakangan) keliru memahami ucapan Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu –semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala meridhainya– tentang shalat. Al-Imam Asy-Syafi’i berkata, “Shalat itu tidak seperti zakat. Tidak boleh seorang pun memasuki shalat ini kecuali dengan zikir.”
Mereka menyangka bahwa zikir yang dimaksud adalah ucapan niat seseorang yang hendak shalat. Padahal yang dimaksudkan Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu dengan zikir ini tidak lain adalah takbiratul ihram. Bagaimana mungkin Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu menyukai perkara yang tidak dilakukan Nabi Shallallahu ‘alahi wa sallam dalam satu shalat pun, begitu pula para khalifah beliau dan para sahabat yang lain? Inilah petunjuk dan jalan hidup mereka. Kalau ada seseorang yang bisa menunjukkan kepada kita satu huruf saja dari mereka tentang perkara ini, maka kita akan menerimanya dan menyambutnya dengan penuh ketundukan dan penerimaan. Karena, tidak ada petunjuk yang lebih sempurna daripada petunjuk mereka dan tidak ada sunnah kecuali yang diambil dari sang pembawa syariat Shallallahu ‘alahi wa sallam.
(Zaadul Ma’ad, 1/201)

Setelah membulatkan niat didalam hati,
Dari Aisyah -radhiallahu anha- dia berkata:
“Apabila Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam hendak memulai shalat, maka beliau mengucapkan:

“SUBHANAKA ALLAHUMMA WA BIHAMDIKA WA TABARAKAS-MUKA WA TA’ALA JADDUKA WA LA ILAHA GHAIRAKA”
“Maha suci Engkau, ya Allah, aku sucikan nama-Mu dengan memuji-Mu, Maha berkah nama-Mu, Maha luhur keluhuran-Mu, dan tidak ada illah(Tuhan) yang haq selain Engkau.” (HR. Abu Daud no. 776, At-Tirmizi no. 243, Ibnu Majah no. 896, dan dinyatakan shahih oleh Al-Albani dalam Shifatush Shalah hal. 93)
Dan saya pun selalu melakukan hal ini (diatas) selagi tidak lupa.

https://akucintaislam.indonesianforum.net

Kembali Ke Atas  Message [Halaman 1 dari 1]

Permissions in this forum:
Anda tidak dapat menjawab topik